Preskripsi dan Deskripsi dalam Kajian Hukum: Saripati Diskusi Disertasi (part 1) (Serial pertama T-Talk, ISLaMS)

'Apa yang dirasakan, ibu', begitu tanya dokter. 'Saya, merasakan sakit kepala dan mual', jawab si pasien. 'Oh, ok'. Sahut sang dokter. Ia lalu menyiapkan kertas dan mencoret-coret kertas yang kemudian diserahkan kepada si pasien sambil berucap mengarahkan. 'Silahkan ibu bawa preskripsi ini ke kimia farma untuk ditukar dengan obat’. Apa yang dilakukan dokter adalah mencoba mengobati masalah kesehatan si pasien. Bagi si dokter keluhan pasien tersebut dianggap biasa dan sudah sangat jelas masalahnya dan jelas obatnya atau ketentuannya. Faktanya memang si pasien memperoleh kesembuhan dengan obat yang disebutkan di atas kertas, yang disebut preskripsi.
Apa yang kita simak dari kasus penyakit pasien dan cara dokter mengobatinya kita bisa kaitkan dengan cara kerja penelitian hukum. Banyak dari kita dengan secara sederhana mencoba memberi obat kepada apa yang terjadi dalam praktik. Kalangan yang menamakan diri mereka peneliti ini ngotot ingin menyembuhkan permasalahan hukum dalam masyarakat. Dengan demikian, mereka menanyakan dalam penelitian mereka tentang apa yang harus disumbangkan atau dikatakan secara langsung untuk menyembuhkan permasalahan atau untuk memberi status hukum terhadap praktik dalam masyarakat. Tentu ini baik dan tidak masalah untuk dilakukan. Namun, sebuah penelitian atau kajian tidak bisa sesederhana ini. Jika, misalnya, mereka hanya menanyakan tentang apa status atau (obat) hukum dari, misalnya, fenomena atau pratik pernikahan tidak tercatat (yang secara hukum dianggap menyimpang) atau dengan kata lain menanyakan apakah praktik itu sah atau sesuai, apa yang harus mereka lakukan, maka pertanyaan ini telah dengan sangat mudah dijawab karena memang ketentuan pasal di peraturan perundangan telah dengan gamblang mengaturnya. Si peneliti dengan demikian hanya perlu menuliskan preskripsi yang diambil dari pasal-pasal peraturan perundangan yang relevan.
Lalu, bisakah atau tidak bisakah peneliti mengajukan pertanyaan penelitian yang menuntun jawaban preskriptif? Tentu bisa, tetapi peneliti harus menyodorkan isu atau konteks dimana preskripsi bisa berbeda untuk satu isu hukum dengan isu hukum lain. Kemudian, bagaimana kita sebagai peneliti bisa menemukan isu? Artinya, jika tidak ada isu, seperti kasus di atas, maka penelitian menjadi tidak penting dan relevan.
Isu bisa ditemukan dalam beberapa keadaan kaitannya dengan norma hukum; 1. ketentuan atas praktik yang kita lihat itu tidak ada dalam peraturan; 2. ketentuan atas praktik yang kita lihat tidak jelas atau sangat umum; dan, 3. ketentuan clear tetapi bertabrakan dengan ketentuan lain yang berkaitan. Dengan isu atau konteks yang melatari pertanyaan penelitian kita dan dengan fakta norma hukum di atas, gelar ‘peneliti’ kepada seseorang yang mengajukan pertanyaan dengan isu hukum tersebut menjadi relevan untuk disematkan. Atau istilah penelitian dalam keadaan ini bisa relevan digaungkan dalam konteks pengembangan akademik, bidang hukum. Untuk lebih jelas dan gamblang, kita ambil contoh tentang banyaknya kasus pernikahan tanpa pencatatan yang dijadikan fokus penelitian di sebuah wilayah. Kita bisa mengkaji praktik tersebut jika ada isu, yaitu misalnya, praktik pernikahan tidak dicatat tersebut diakibatkan satu fakta yang kita sudah ketahui atau identifikasi, yaitu bahwa para pasangan sebenarnya telah berupaya mengajukan permohonan pencatatan tetapi lembaga pencatat, dalam hal ini KUA, sedang tidak bisa melayani atau menyediakan buku nikah karena satu atau dua hal atau kondisi. Masalah itu berlangsung cukup lama, katakanlah 6 bulan, masa dimana para pasangan tidak bisa menunggunya dan akhirnya mereka nelakukan pernikahan tidak tercatat. Masalah ini diperburuk dengan isu lain bahwa si istri dari pernikahan tersebut lalu hamil dan lalu melahirkan sebelum mereka kembali mengurus pencatatan atau permohonan isbat nikah. Pertanyaan penelitian paling sederhana terkait ini adalah; apakah praktik pernikahan tidak tercatat tersebut dianggap sah secara hukum (negara)? Jawaban tidak bisa melepaskan dari isu atau konteks. Artinya, peneliti dengan argumen dan logika hukum yang diolahnya, bisa mengajukan jawaban ‘tidak sah’ atau ‘sah’. Isu lain dari perkara ini adalah bahwa si suami ternyata kemudian meninggal setelah hanya 2 bulan kelahiran anak dan sebelum pernikahan dilegalkan. Isu ini bisa dijadikan landasan pertanyaan berikutnya, bagaimana status hukum si anak (yang lahir dari pernikahan tidak tercatat dengan konteks ini) kaitannya dengan kewarisan? Dengan kajian hukum dan logika penafsiran terhadap ketentuan yang tersedia (yang memang tidak mencakup konteks yang detail), si peneliti bisa mengajukan jawaban bahwa si anak berhak atas kewarisan atau mungkin tidak berhak. Jawaban-jawaban ini juga akan tergantung pada teori yang dipinjam. Pertanyaan akademik preskriptif ini bisa diajukan, dengan arah penetapan status hukum pernikahan; sah atau tidaknya pernikahan dan atau berhak atau tidaknya dalam kacamata hukum negara (berdasarkan PP) si anak memperoleh harta warisan. Penelitian seperti ini sebenarnya penelitian yang bisa membantu para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara serupa yang masuk ke kas perkara mereka, membantu memberikan prsekripsi kepada mereka untuk dijadikan bahan atau referensi dalam penyelesaian perkara yang mereka hadapi.
Paparan ini bisa kita kembali kaitkan dengan cara kerja dokter. Jika seorang pasien datang dan menyampaikan keluhan penyakitnya dan ketika si dokter memberikan preskripsi dan ternyata obat yang disodorkan tidak berhasil, maka sang dokter perlu melakukan kajian terhadap pasien dengan penyakitnya tersebut dan kemudian memberikan obat sesuai dengan pengetahuannya setelah ia meneliti secara seksama.
Kajian-kajian preskriptif dengan contoh dan konteks serta arah di atas dilakukan atas sebuah praktik. Relevankah kita mengkaji teks hukum dengan pendekatan normatif (yuridis normatif), mengkaji hukum yang berlaku dengan kaca mata norma? Relevan, dan arahnya bisa pada aspek asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum secara vertikal dan atau horizontal. Kita mengkaji asas hukum apa yang terkandung dalam teks hukum; misalnya, apa asas yang terkandung dalam ketentuan hukum (negara) tentang pengasuhan anak atau perwalian. Kita juga bisa mengkaji sistematika hukum; bagaimana struktur hukum tentang poligami, subjek apa saja yang diatur (suami, dan istri pertama, serta calon istri kedua; dan lalu apakah anak istri pertama misalnya menjadi subjek yang diatur dalam ketentuan poligami kaitannya dengan ijin); sistem hukum apa yang diadopsi ketentuan hukum poligami di Indonesia (apakah hukum Islam, atau hukum adat, atau percampuran, atau mengadopsi sistem hukum internasional? Kita juga bisa mengkaji apakah ketentuan atas satu isu hukum dalam satu peraturan perundangan searah, sinkron, dengan ketentuan di peraturan perundangan lain? Ada banyak contoh lain yang bisa disajikan di dalam konteks penelitian jenis ini. Tentu, sebagai sebuah penelitian, pertanyaan-pertanyaan normatif di atas harus dilatari oleh alasan akademik. Kaitannya dnegan pertanyaan yang mengarah kepada isu ketentuan hukum poligami yang ditekankan pada sistematika hukum-nya, kita bisa mengawali paparan atau alasan akademik terkait dengan fakta atau data empiris bahwa praktik poligami menurut beberapa kajian telah menempatkan anak pada keadaan yang merugikan, atau dengan fakta bahwa kebolehan hukum poligami di Indonesia dikaitkan dengan kesepakatan atau keinginan pihak-pihak terkait (Euis Nurlaelawati).