Menggelar Thesis Talk tentang Kajian Halal, ISLaMS Peduli Penguatan Regulasi Halal

ISLaMS, Yogyakarta -Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) menghadirkan kepeduliannya terhadap penguatan regulasi halal di Indonesia melalui kajian politik hukum dalam forum Thesis Talk #5 yang digelar Rabu (18/6) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Forum ini menjadi ruang akademik strategis untuk mengkritisi arah kebijakan dan regulasi jaminan produk halal.
Mengusung tema “‘Halal’ dalam Kajian: Norma dan Politik Hukum Jaminan Produk Halal di Indonesia,” kegiatan ini menghadirkan dua tokoh akademisi sekaligus praktisi hukum: Dr. Muhammad Lutfi Hamid, M.Ag., dan Dr. Diky Faqih Maulana, M.H, yang menelaah dari sisi teori hukum hingga dinamika politik legislasi. Keduanya menyoroti pergeseran tata kelola jaminan halal dari otoritas non-negara menuju otoritas legal negara melalui regulasi yang progresif.
Dosen Hukum Ekonomi UIN Sunan Kalijaga, Dr. Diky Faqih Maulana, menyampaikan apresiasinya terhadap langkah pemerintah dalam menghadirkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
“Saya mengapresiasi kinerja pemerintah yang berhasil menyusun dan menerbitkan UU JPH, setelah 20 tahun soal jaminan halal ini dipegang oleh LSM, dalam hal ini MUI,” ungkap Diky kepada tim humas ISLaMS.
Menurutnya, UU JPH merupakan penanda perubahan fundamental dalam sistem hukum halal nasional. “Hal ini menunjukkan adanya peralihan otoritas dari yang kharismatik ke otoritas legal. Ini sejalan dengan teori Max Weber yang menggambarkan transformasi kekuasaan dalam birokrasi modern,” jelasnya.
Diky menambahkan, negara hadir dengan pendekatan legalistik, dan keberadaannya sangat penting dalam menjamin hak-hak konsumen Muslim. “Negara hadir untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, memastikan bahwa produk halal benar-benar tersedia dan terjamin,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyambut baik penyusunan Master Plan Industri Halal Indonesia (MPIHI) 2023–2029 oleh pemerintah. “MPIHI menjadi bukti adanya itikad baik negara dalam membangun fondasi hukum dan regulasi yang berkelanjutan,” tegasnya. Baginya, langkah ini juga mencerminkan upaya negara dalam menopang kedaulatan konsumen Muslim di era modern.
Sementara itu, Dr. Muhammad Lutfi Hamid, M.Ag., mantan Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), menyampaikan hasil disertasinya yang menelaah dinamika regulasi halal dari perspektif politik hukum. Dalam pemaparannya, Lutfi memetakan transformasi regulasi halal dari aspek norma hukum, kewenangan kelembagaan, dan konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
“UU No. 33 Tahun 2014 memang lahir dalam konteks demokratis, tapi partisipasi masyarakat belum optimal. Sedangkan revisi regulasi melalui omnibus law, seperti UU Cipta Kerja dan UU No. 6 Tahun 2023 justru muncul dalam rezim yang lebih otoriter, namun menghasilkan hukum yang lebih responsif,” terangnya.
Temuan tersebut, menurut Lutfi, dalam batas tertentu menggeser teori atau argumen bahwa konfigurasi otoriter cenderung melahirkan hukum represif. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks regulasi halal ini ada variabel perantara berupa kondisi sosial-politik dan konstitusi yang memengaruhi responsivitas hukum.
“Ini menunjukkan bahwa karakter hukum tidak semata ditentukan oleh sistem politik, tetapi juga oleh dinamika sosial dan tekanan konstitusional,” ungkapnya.