logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Hukum Keluarga Islam di Indonesia dalam Kajian

Hukum Keluarga Islam di Indonesia dalam Kajian

HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DALAM KAJIAN

 

Dinamika hukum keluarga Islam di Indonesia selalu menarik untuk dikaji, terutama dari aspek empirisnya, baik yang berupa putusan Pengadilan Agama maupun praktik hukum di masyarakat. Dengan demikian kajian terhadap fenomena hukum keluarga Islam di Indonesia perlu selalu dihidupkan, baik melalui penelitian maupun diskusi dari hasil penelitian tersebut. Atas dasar argument inilah, ISLaMS (Institute for the Study of Law and Muslim Society) menyelenggarakan diskusi rutin bertajuk THESIS TALK (T-TALK). Kegiatan ini menghadirkan narasumber para alumni Program Doktor maupun Magister untuk memaparkan disertasi maupun tesis yang mereka tulis. Tujuannya adalah untuk mendiseminasikan hasil penelitian mereka sekaligus memberikan insight kepada peserta diskusi untuk melakukan kajian dengan tema sejenenis.

Hari ini, Senin tanggal 29 Januari 2023, untuk pertama kalinya T-TALK dilaksanakan, bekerjasama dengan Prodi S3 Ilmu Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Narasumber yang dihadirkan adalah: Al Farabi, M.A, Ph.D, alumni Leiden University dan Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta Jawa Tengah, dan Dr. Maulidia Mulyani, M.H, alumni Prodi Doktor Ilmu Syari’ah. Kegiatan ini dimoderatori oleh Prof. Euis Nurlaelwati, M.A, Ph.D,  Direktur Eksekutif ISLaMS. Peserta kegiatan initerdiri dari para mahasiswa Program Magister, Program Doktor, dan juga para Dosen. Kegiatan ini bertempat di Ruang 209 Lantai 2 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mulai pukul 09.00 – 12.00 WIB. 

Mengawali diskusi Prof Euis menjelaskan tentang tujuan dan urgensi dari kegiatan T-TALK ini. Menurutnya, diskusi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menghidupkan suasana akademik di kalangan civitas akademika yang sudah mulai kelihatan lesu. Forum-forum diskusi perlu dihidupkan untuk memberikan resource, reference,  dan skill meneliti bagi civitas akademika. Oleh karena itu diskusi di T-TALK bukan hanya sekedar memaparkan hasil penelitian tetapi juga menjelaskan bagaimana proses penemuan ide, pemilihan tema/topik, penelusuran sumber data penelitian, penentuan pendekatan dan teori yang digunakan, hingga penguatan analisis terhadap objek kajian. Informasi ini sangat penting untuk memberikan gambaran kepada peserta, terutama bagi mahasiswa dan dosen yang sedang atau akan melakukan penelitian.  

Al Farabi mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Matrilineal Islam: State Islamic law and everyday practices of marriage and divorce among people of Mukomuko, Bengkulu, Sumatera, Indonesia”. Fokus kajiannya adalah: (1) Bagaimana komunitas-komunitas yang secara geografis ‘pinggiran’ membangun dan menjaga hukum [Islam] mereka sendiri tentang pernikahan dan perceraian dalam menghadapi interpretasi dominan hukum Islam yang diberlakukan oleh negara? (2) Bagaimana hakim Pengadilan Agama mewakili negara menyikapi kondisi lokal dalam mendorong perubahan sosial di bidang perkawinan dan perceraian di kalangan masyarakat Mukomuko pada khususnya dan masyarakat multikultural Indonesia pada umumnya? Dengan kata lain, ‘logika’ apa yang mendasari proses peradilan di Pengadilan Agama Indonesia? (3) Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Mukomuko sehubungan dengan tren peningkatan sistem peradilan Islam di Indonesia yang lebih terpusat dan homogen, dan apa dampak dari tren peningkatan ini?

Di awal presentasinya, Al Farabi menjelaskan bagaimana dia menemukan tema dan objek kajian tersebut. Mukomuko merupakan masyarakat yang berasal dari Suku Minang tetapi tinggal di wilayah Propinsi Bengkulu. Secara geografis, mereka menempati wilayah pinggiran yang cenderung terisolir dari dunia luar, sehingga mereka masih dapat menjaga orisinalitas hukum adat yang berlaku di masyarakat, khususnya yang terkait dengan masalah perkawinan dan perceraian. Menurut Al Farabi, dalam penelitian, terutama disertasi, aspek somewhat (apa topiknya)  dan aspek somewhere (dimana wilayah kajiannya) adalah hal penting yang harus dijelaskan pemilihannya. 

Dengan menggunakan pendekatan historis dan ethnografi, Al Farabi menemukan bahwa, pertama, Pengadilan Agama memiliki otonomi dalam penyelesaian kasus perkawinan dan perceraian, dalam bentuk: (1) memperluas dan menghaluskan bentuk isbat nikah, yaitu pengesahan surut atas perkawinan yang tidak dicatatkan. Majelis hakim Pengadilan Agama mengadaptasi putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 tentang hubungan hukum ayah anak dengan penafsiran isbat nikah yang ada. Dasarnya adalah menjaga kepentingan para pihak, yaitu anak, istri pertama, dan nilai-nilai ‘inti’ dalam Islam; (2) penemuan perkawinan yang rusak sebagai landasan perceraian yang ‘sepihak’ dan ‘tanpa alasan’ bagi laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam kasus perceraian karena perkawinan yang gagal, hakim masih dapat menggunakan pertimbangan kesalahan, terutama ketika ‘kesalahan’ tersebut relevan dengan hak-hak pasangan pasca-perceraian. Dalam Putusan 266K/Ag/2010, hakim Mahkamah Agung mengadili tiga perempat bagian dari harta perkawinan bersama kepada seorang istri asal Yogyakarta, dengan mempertimbangkan kontribusinya yang lebih besar dalam memperoleh harta tersebut, dengan mengalokasikan 70 % harta perkawinan bersama kepada istri dan 30% kepada suami. Dalam kasus serupa yang terjadi di Sumatera Barat, yaitu Putusan 88/Ag/2015, hakim mengalokasikan sepertiga untuk suami dan dua pertiga untuk istri, dengan menggunakan norma setempat tentang harta-pusaka. yang merupakan bagian dari harta yang disengketakan.

Kedua, masyarakat Mukomuko merupakan masyarakat muslim yang multicultural, yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (1) Masyarakat Hulu-hilir yang mendiami desa hulu dan hilir sejak dahulu kala; (2) Para pendatang, sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, yang tersebar di beberapa kantong transmigrasi baik yang disponsori negara maupun perkebunan swasta; dan (3) Masyarakat perkotaan, yang merupakan campuran dari masyarakat hulu-hilir dan migran, yang tinggal di pusat-pusat perkotaan yang sedang berkembang. Al Farabi menemukan adanya keterikatan kompleks antara adat dan hukum negara-Islam, seperti dalam hal: Konvergensi kreatif dalam tradisi nikah cara-gadis dan cara-randa (orang adat + KUA), Lembaga Minta-sah: mekanisme perceraian melalui adat. Di sisi lain muncul konflik seperti  lembaga mahar dan juga munculnya shopping forum dan wacana yang terjadi di komunitas perkotaan.

Ketiga, reportoar dari sidang hakim Pengadilan agama menunjukkan adanya perbedaan logika antara tingkat peradilan Islam. Misalnya dalam  Pengadilan tingkat pertama memutuskan Islam matrilineal dan ada yang memutuskan berdasarkan hukum Islam yang lebih bersifat patrilineal. Kamar Islam Mahkamah Agung: lebih akomodatif dan ramah terhadap perempuan dan anak. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya kecenderungan menuju peradilan Islam yang lebih terpusat dan homogen: dengan menggunakan sistem satu atap dan adanya kewajiban rotasi hakim.

Hal ini menjadi permasalahan, seperti yang terlihat dalam kasus Mukomuko, hakim pengadilan yang lebih rendah terhalang untuk memimpin inovasi hukum. Hakim pengadilan tingkat pertama mempunyai posisi yang lebih baik untuk menilai kebutuhan pihak-pihak yang hadir di hadapan mereka.

Dari beberapa temuan tersebut, Al Farabi menyimpulkan bahwa masyarakat yang beragam membutuhkan hukum yang well-infromed dengan keragaman tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi dengan menetapkan hukum yang berbeda (legal differentiation) dan pelibatan cultural expertise dalam proses penetapan hukum di Pengadilan.

Narasumber kedua, Maulidia Mulyani memaparkan tentang disertasinya yang membahas tentang Pernikahan Pengungsi Syiah: Resiliensi Dan Akomodasi Hak Administrasi Keluarga di Indonesia. Di awal presentasinya, Maulidia berbagi tips tentang penulisan disertasi, mulai dari mencari ide, menyusun langkah kerja, mengerjakan, dan melakukan revisi. Ide disertasi dapat diperoleh melalui penelusuran menggunakan tools yang sudah tersedia secara online. Hal yang perlu dilakukan adalah mengikuti forum diskusi, dan menelusuri literature review. Dari hasil penelusuran itulah dapat dipetakan tema yang akan diteliti. 

Fokus kajian Mauidia adalah Bagaimana pengungsi Syiah di PuspaAgro Sidoarjo melakukan upaya untukmemperoleh pelayanan administrasi pernikahan? Untuk menganalisa masalah tersebut Langkah-langkah yang dilakukannya adalah: mencari data terkait Syiah dan pelayanan administrasi yang ada di Indonesia, menggali data narasumber yang telah disesuaikan dari pedoman wawancara, mengamati fenomena tersebut ada pola seperti apa yang dilakukan misal bentuk negosiasi, pertahanan dll, dan menganalisa dan menyampaikan temuan-temuan.

Hasil penemuan Maulidia adalah: pertama, pengungsi Syiah di Puspa Agro Sidoarjo melakukan upaya untuk memperoleh pelayanan administrasi pernikahan dengan cara: dalam kasus Pencatatan nikah dilakukan dengan antar berkas, dalam kasus Isbat nikah mereka didampingi kepolisian, dan dalam kasus dispensasi nikah mereka melampirkan surat perantara dan didampingi kepolisian. 

Kedua, Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan pelayanan administrasi pernikahan bagi pengungsi Syiah di Puspa Agro Sidoarjo adalah: penolakan terhadap ajaran Syiah, kekhawatiran terjadinya konflik dan demi terciptanya keamanan kedua belah pihak. 

Ketiga, upaya resiliensi yang dilakukan para pengungsi kaitannya dengan sikap masyarakat muslim secara umum terhadap fenomena penyebaran ajaran Syiah adalah dengan cara mau menerima  pasangan non-Syiah, turut menerima pendampingan, serta upaya deklarasi perpindahan mazhab.

Presentasi dari kedua narasumber sangat menarik perhatian peserta. Hal ini terbukti dari banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan. Para peserta sangat antusias untuk menanyakan bagaimana pemilihan tema, penentuan wilayah penelitian, bagaimana mengeksplorasi objek kajian agar menarik, dan bagaimana menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam kajian hukum Islam. Diskusi T-TALK ini ditutup dengan foto bersama narasumber, moderator dan para peserta.